Kamis, 26 Januari 2017

Sujud

Satu-satunya sikap badan seorang manusia yang menurut saya paling anggun adalah sujud. Wajah, terwakili oleh dahi dan hidung, harus menempel ke Bumi, bersamaan dengannya kedua telapak tangan, kedua lutut, dan jari-jemari kaki kanan maupun kiri. 

Sempurna. 
Sempurna sebagai wujud menghamba kepada Sang Pencipta.

Lalu doa apa yang teragung dalam sujud?
Subhana Rabbiyal a'la.
Mahasuci Tuhanku yang Mahatinggi.


Sujud mengalahkan segala keangkuhan manusia. 
Merendahkan segala tabiat tinggi hati. 
Memangkas setiap tunas kecongkakan.

Bagaimana tidak, kepala manusia yang berisi otak pikiran sombong harus direlakan untuk direndahkan serendah-rendahnya seraya memuji Sang Pencipta yang Mahatinggi.

Kurang sempurna dan anggun apa coba?

Selasa, 17 Januari 2017

12 Rajab 1412 H

Suatu hari tertanggal 11 Rajab 1412 sore,
Ummi (ibu saya) sudah mulai gelisah dan kesakitan karena kontraksi perut. Seorang jabang bayi rupa-rupanya sudah siap untuk memulai perjalanannya di dunia. Ummi lalu diantar Abah yang saat itu sudah 7 tahun berjuang bersama Ummi. Dalam kerumitan suasana waktu itu, Abah mengantar menggunakan sepeda ke Rumah Sakit Dr. Sardjito, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Begitu sampai di rumah sakit, qadarullah, rumah sakit sedang penuh pasien sehingga Ummi tidak mendapatkan kasur untuk istirahat. Ditunggulah hingga mendapat kepastian, akhirnya pihak rumah sakit justru menyarankan Abah untuk mencari kos-kosan untuk istirahat di luar rumah sakit. Dengan kesakitan yang semakin menjadi-jadi, akhirnya mereka memilih pulang.

Saya tidak tahu persis cerita Ummi tentang peristiwa itu. Segmen kisah yang saya dengar adalah perjuangan-perjuangan Ummi dan Abah yang sempat jatuh dari sepeda, lalu bermalam-malam untuk pindah dari rumah sakit ke rumah, dan masih banyak lagi yang pasti saya terlewat kisahnya. 

Yang pasti jelas, dari penuturan Abah, dengan penderitaan yang cukup lama, akhirnya Ummi melahirkan di bidan kampung dekat rumah pada tanggal 12 Rajab 1412 tahun Hijriyah selepas Shalat Jumat. Dengan peralatan bidan kala itu yang seadanya, maka lahirlah seorang bayi laki-laki sehat tak kurang suatu apa, ke dunia ini. Tunai sudah tugas jihad Ummi dari mengandung sekian lama hingga melahirkan bayinya.

Abah dan Ummi sangat bahagia dengan kelahiran anak keduanya itu. Mereka berharap agar anaknya itu kelak akan menjadi orang yang bermanfaat se-hakiki-nya kepada agama, masyarakat, dan bangsa. Mereka bercita-cita bahwa anaknya itu tidak akan menjadi pengganjal hidup usia senjanya kelak. Berbakti kepada orang tuanya adalah sebuah harapan yang ditaruh kepada anaknya itu.

Saya tidak terlalu paham betul dengan perjuangan Ummi dan Abah. Tetapi, saya begitu gemetar dengan cahaya muka Ummi dan Abah, yang begitu tulus dan perhatian dengan anaknya itu. Mereka berdoa semoga anaknya selalu mendapatkan restu dan rizqi yang selalu halal lagi baik.

Kepada anak mereka yang lahir di hari raya Islam nan berkah yaitu Jumat itu, mereka memberi nama Yan Restu Freski.
 Semoga apa yang mereka doakan, dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala. Aamiin.

Selasa, 10 Januari 2017

Asos.

Asos.
Saya mendengar pertama kali mungkin di saat masih SMA. Asing memang, panganan opoh kuwi. Asos, adalah singkatan dari anti sosial. Saya tidak tahu apakah istilah itu sudah EYD atau belum, namun ternyata mungkin sudah jadi salah satu label bagi seseorang yang menutup diri dari khalayak, baik disengaja maupun nggak sadar.

Dulu,
saat masih jaman SD, saya bukanlah anak yang suka di rumah. Gatal rasanya jika tangan itu tidak untuk pegang guthik, gatal pula jika kaki itu tidak untuk berlari. Ada saja permainan atau eksplorasi yang dilakukan saat itu bersama kawan-kawan. Bahkan mencuri tebu di sawah sebelah kampung, mengejar belut yang sembunyi di dalam lumpur di bawah teriknya matahari, atau main bola di sejuknya sore. Tidak ada masalah untuk semuanya itu. Jadi, nggak ada yang namanya asos.

Tapi,
semua berubah semenjak saya sekolah di SMP. Yah, walaupun sesekali masih saja sering nongkrong di angkringan tengah kampung. Namun saya pikir, saat itulah saya menjadi asos. Apalagi ketika masuk sekolah di kota saat SMA. Asos di kampung jadi nggak ketulungan. Kegiatan pemuda jarang ikut. Saya pun sebetulnya nggak bersengaja untuk asos. Cuma memang kegiatan di sekolah betul-betul mengasyikkan, sehingga lupa sama yang di rumah. Hehehe.

Namun saat kuliah ini,
saya mulai membaur lagi, ketemu kawan-kawan sepermainan di kampung lagi. Tapi paling pol untuk urusan laden hajatan tetangga. Selebihnya saya tetap tidak bergabung. Soalnya cuma nongki-nongki doang. Saya belum punya ide biar mereka nggak nongkrong saja.

Tentang asos,
saya lebih tertarik untuk asos di media sosial. Percayalah, bahwa saya adalah orang yang kuper dalam media sosial. Sejak jamannya mxit, friendster, lalu ke jaman facebook, twitter. Sampai sekarang ada teknologi Whatsapp, Line, Telegram, Instagram, dan entah apa lagi. Saya pernah punya media sosial hanya facebook, twitter. Tapi semuanya sudah tutup lapak. Hehe... Lagian itu dibikinkan temen juga. Malah ada yang bersedia jadi adminnya.

Saya pun,
akhirnya selektif dalam memilih grup di Whatsapp. Ada beberapa hal yang kemudian menyebabkan saya memutus beberapa grup. Saya keluar dari beberapa grup fundamental. Awalnya berat, tapi pada akhirnya, malah lebih enjoy. Perlahan saya menutup grup-grup dengan cara keluar dari grup tersebut dengan sopan. Sehingga, saat ini saya merasa menjadi orang yang baru. Eh, bukan baru sih, tapi menjadi orang yang hampir seperti dulu saat anak-anak. Dan ini menyenangkan.

#Tapi saya masih berharap bisa ber-whatsapp denganmu. Semoga sesegera mungkin ada alasan agar hal itu tidak lagi berdosa. :D

Jumat, 06 Januari 2017

Baru kurasakan,

Semakin ke usia sekarang, personifikasi diriku semakin menarik. Banyak kemudian tanggung jawab ditaruh di atas bahuku secara bertubi. Pun dalam benak mulai bingung dalam mengurai benang yang semakin ruwet. 
Sementara itu, waktu bergulir cepat. Bangun tidur, menyapa matahari pagi, aktivitas rutin, menumpuk masalah di kantor, rumitnya jalan dihadapi, begitu seterusnya, tak terasa waktu sudah sore dan malam menjelang. Pulang, lalu tidur. Seperti tiada habisnya. 
Ternyata, 
Perjalananku masih panjang yang harus ditempuh, bekalku masih sangat sedikit untuk digamit, namun waktu yang tersedia semakin sempit, makin menghimpit. 
Apa yang harus ku lakukan? 
Pilih hal yang bermanfaat, kerjakan dengan baik. 

Benar kata pak Ustadz, sesungguhnya tidak ada kesempatan berbuat maksiat bagi orang yang menyadari batasnya hidup alias maut.