Sabtu, 30 Juli 2016

Surat Proposal

Dear calon ibunda bagi anak-anakku,
Aku termasuk golongan pemuda yang malu dalam mengungkapkan isi perasaan. Namun dari maluku ini tidak kemudian teranggap bahwa aku tuna rasa kan? Aku kemudian hanya menyimpannya dalam kesabaran. Walau begitu, ku juga tetap sadar kok, bahwa suatu saat aku harus mengatakannya. Dan inilah saatnya. Ku harap engkau mau menyimaknya.

Begini, wahai calon madrasah bagi anak-anakku,
ku telah banyak mendengar bahwa hidup kita ini tidak lain diciptakan oleh Allah hanyalah untuk beribadah kepadaNya, bersyukur kepadaNya, menghampar-bumikan sifat dan sikap sebagai seorang hamba. Lalu, ku sadari pula bahwa Dia menjadikan insan makhlukNya itu berpasang-pasangan, dari bersuku-suku, untuk saling memahami satu sama lain. Bukan untuk tujuan utama menyamankan diri masing-masing, tetapi untuk lebih ke menyadari bahwa manusia itu serba kekurangan, serba berkesalahan, dan seyogyanya pula segera menarik kesimpulan bahwa mereka memang hanyalah makhluk dari Dzat yang Maha Sempurna.

Wahai calon pengasuh anak-anakku,
ku berharap bahwa engkau bisa sampai hati dalam memarahiku jikalau aku mengingkari fitrah yang dititahkanNya. Ku berharap bahwa engkau mau berteguh hati dalam menjaga atmosfer ketauhidan di dalam rumah kita. Ku berharap di setiap detiknya, kita saling mengingatkan bahwa bibir haruslah basah oleh dzikir kepadaNya. Ku berharap bahwa engkau tidak melihatku dari fisik saja. Ku berharap bahwa engkau menemukan potensiku sebagai  sosok pemuda yang engkau idamkan. Potensi ruhani dan sifat diri yang semoga tetap mengimaniNya. Ku berharap, engkau mengambil akhlak baikku sebagai sebab cintamu kepadaku karenaNya.

Wahai calon istriku,
ku akhirnya bertekad memilihmu untuk bersama dalam peribadahan mulia itu. Ku berharap akan mendapatkan keberkahan dalam kehidupan bersama di antara kita.

Duhai calon istriku,
hidup ini sangat singkat, dan tiap detiknya berjalan tanpa kembali. Andai tiada penanggalan hari, akan semakin jelas bahwa batas hidup kita di dunia semakin dekat. Untuk itu, ijinkanlah diri ini untuk menanyakan apakah engkau mau dan bertekad untuk beribadah kepadaNya bersamaku di sisa usia kita?

Masa lalu punyamu tak perlu kutanyakan, barangkali ada aib diri yang memang sedang engkau jaga. Pun daku, tak ada manfaat engkau menanyakan masa laluku. Terpenting saat ini adalah masa depan kita bersama, menyertai anak-anak beranjak dewasa, dan semua itu kembali kepada fitrah kita, yakni menyembah hanya kepadaNya.

Wahai kekasihku,
aku akan memulai perjumpaan kita dengan meminta maaf... maaf atas ketidak-tahuan mensyukuri nikmat yang sempurna dariNya, sehingga diri ini masih terasa jauh dari kata sempurna untukmu. Aku tidak akan bisa memberimu kebahagiaan, karena bahagia hanya Allah yang bisa memberi. Semoga Allah memberikan tabiat yang baik padaku untukmu.

Ku juga akan mengiringi kisah perjalanan kita dengan meminta maaf, karena akan banyak masalah yang tidak perlu terjadi tapi justru terjadi dengan pedihnya membawa perasaan. 

Hingga pada akhirnya...
aku juga akan meminta maaf karena bisa jadi akan meninggalkanmu dari dunia ini lebih dahulu, untuk kembali padaNya. Juga saat itu, bisa jadi, menjadi akhir perjumpaan kita dengan masih ada rasa menanggung beban masalah yang belum selesai.

Wahai kekasihku, calon istriku, calon ibu dan madrasah pertama bagi anak-anakku nanti, Ini adalah sepotong isi hati diri untuk saat ini. Ku kan siap menjadi teman diskusi jikalau engkau mempertanyakan prinsipku yang belum terceritakan. Semoga kita bisa bersua di Jannah-Nya.

Bismillahirrahmaanirrahiim, semoga Allah menjaga tiap langkah kita di jalanNya. Aamiin.

Catatan dari Pa Tong, Phuket di senja yang sendu,
dari lubuk hati yang terdalam,
untukmu wahai kekasihku.