Komitmen
Komitmen itu ibarat suatu
arsitektorat kehidupan, maka komitmen membutuhkan perancangan yang matang mulai
dari permulaan hingga perawatannya. Komitmen itu dibangun, bukan asal hinggap
dan pergi. Komitmen itu dibangun di atas suatu pondasi yang kokoh. Kemudian,
secara kontinyu dan bertahap, komitmen didirikan dengan memancangkan
tiang-tiangnya. Dilengkapi dengan dinding penguat dari segala bentuk rasa suka
dan duka. Baru setelah itu, pematutan atap dengan konstruksi yang ada di
bawahnya. Harus terukur, berat dan kualitas atapnya. Harapannya, bangunan ini
akan kuat dan tetap tegar walau dibantai seribu kali oleh badai, didera oleh
seribu kali gempa, diliput segala banjir, dan tetap terlindung dari segala
kobaran api yang membakar segenap hati. Itulah komitmen.
Sumber: http://suzannita.files.wordpress.com/2010/11/komitmen.jpg |
Komitmen kadang mudah dibangun
Komitmen kadang mudah diucapkan
tetapi dalam pelaksanaannya, banyak yang hangat-hangat tahi ayam. Komitmen,
dalam kasus ini gampang untuk menggambarkan hubungan antar manusia, hubungan
antara seorang lelaki dengan perempuan. Banyak orang bilang, tentang cinta.
Cinta monyet, cinta yang diobral, dan sebagainya. Bagiku, cinta itu satu kata
sederhana saja. Ada yang lebih agung dari sekedar bilang, “Aku cinta kamu”. Yaitu, “Aku
berkomitmen sama kamu”.
“Aku komitmen denganmu”
Gampang terucap, susah
terungkap. Suatu ketika, aku bercengkerama dengan seorang kawan. Dia mengaku
sudah mendekat dengan salah seorang yang sudah memikatnya. Dia mengaku sudah
berbicara dengannya, bersepaham dengannya, berkomitmen padanya. Bukan suatu hal
yang luar biasa memang. Bukankah hidup khalayak ramai seperti itu?
Komitmen versi saya, suatu
cita-cita yang masih asing
Komitmen dalam hal ini adalah
komitmen berhubungan dengan seseorang yang kepadanya kamu menaruh hati. Saat
ini, termasuk kawan saya tadi, telah salah kaprah, memasung makna komitmen dan
menggantinya dengan caranya sendiri. Komitmen dijadikan kambing hitam. Hina.
Saya bukanlah orang yang cukup
paham dengan akidah dan akhlak, namun saya mempunyai suatu keyakinan dalam
hati, keyakinan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Bismillah.
Komitmen tak perlu dengan cara
yang biasa layaknya orang pacaran. Dalam pandangan Islam yang saya pegang, tak
ada kata pacaran di dalamnya. Tak ada bermesraan sebelum menikah syar’i. Tak
ada pacaran islami, tak ada berkhalwat pranikah yang halal. Berkhalwat
sederhananya adalah berduaan lain jenis kelamin tanpa mahram di tempat yang
sepi. Dengan alasan apapun, banyak pemuda dan pemudi yang berlaku seperti ini.
Saya belum juga mengerti, bagaimana bisa seorang muslim dan muslimah, yang
sedewasa ini, sudah paham tentang arti kesucian diri, masih saja melakukannya.
Saya sok suci?
Bukan, bukan begitu maksud saya.
Agaknya untuk saat ini menyindir secara fisik baik bicara maupun perbuatan
sudah tak mempan lagi. Justru ‘memperkuat’ keyakinan kawan-kawan untuk berbuat
demikian. Maka, sesuai sunnah Rasul, hadapilah dengan hati. Menyindir dengan
hati, sepertinya lebih bermakna. Karena secara sadar atau tidak, ucapan dalam
hati akan membekas dalam diri ini. Sebagai kewajiban sesame muslim adalah
saling mengingatkan untuk tidak bermaksiat dan mendekati diri dari zina.
Nasib komitmen yang dikorbankan
Kasihan memang. Makna komitmen
dikambing hitamkan, sebagai dalih “Aku
sama dia sudah komitmen kok, satu pandangan, maka terserah dong apa yang kami
lakukan. Maka terserah kata orang tentang kami. Toh, yang ngerti isi hati kami
sesungguhnya hanya Allah yang Maha Mengetahui.” Naudzublillah, sampai
membawa-bawa nama Allah, untuk ‘menghalalkan’ pacaran itu.
“Serius, kami gak melakukan apa-apa!”
Sampai sesewot itu, bisa jadi
diucapkan. Apa yang tidak kalian lakukan? Kalian tidak berduaan, tidak
bersentuhan, tidak bermesraan, tidak berkata-kata syahdu? Serius? Itu
pertanyaan dasar yang akan saya ajukan jika kawan-kawan saya menolak sindiran
saya.
Saya dianggap tidak dewasa?
Saya hanya sedang mengamati dan
belajar. Bagaimana komitmen yang disalahgunakan, sehingga saya mengerti arti
komitmen hidup dan cinta sesungguhnya. Tentu dengan aturan islami, yang dimulai
dengan khitbah (melamar) sekaligus menentukan tanggal pernikahan. Pada waktu
rentang antara khitbah dan pernikahan itulah, masa taaruf (perkenalan)
diperbolehkan. Kedua pihak boleh mencari tahu hal-hal yang membuat keduanya
semakin ingin menikah. Tentu dalam masa ini pun tetap didampingi oleh mahram.
Baru setelah semuanya tetap sepakat hingga tanggal pernikahan, maka
segerakanlah prosesi akad itu.
“Tapi pacaran, PDKT, dan sebagainya itu buat mengatasi masalah saat
nikah lho.”
Banyak statistik justru
menunjukkan pacaran itu membutakan diri akan keburukan-keburukan masing-masing
pihak, sehingga baru ketahuan setelah menikah dan serumah. Munculah percekcokan
rumah tangga yang tidak harmonis.
“Lalu, apakah taaruf yang singkat mampu menjamin keberlangsungan
hubungan?”
Permasalahan dalam rumah tangga
itu sangat wajar, sebagai bumbu nikmatnya bersuami istri. Seorang muslim dan
muslimah ketika memutuskan untuk menikah, secara penuh akan mendasarkan
hubungan mereka karena Allah semata, sehingga permasalahan rumah tangga akan
diputuskan dengan cara tawakal kepada Allah. Keduanya saling mengingatkan akan
dasar-dasar pelaksanaan rumah tangga yang sudah dituliskan dalam Al-Quran dan
hadits.
“Apakah hanya itu, masalah langsung kelar?”
Ya bukan begitu juga. Artinya,
kalau dimaknai dengan firman Allah, maka penyelesaian akan mudah karena
dilandasi ketenangan dan ketakwaan hati kepadaNya. Bukan karena harta, tahta,
dan dunia.