Di suatu saat, ketika saya membuka laman Facebook saya, saya cukup terperangah dibuatnya. Mengapa? Sebab, teman saya mem-posting desain sampul buku terbarunya. Di semester kedua tahun 2016 ini, dia beserta temannya menulis kisah-kisah hebat sepanjang hidupnya dalam 200-an halaman saja. Cukup tebal untuk bacaan sekali duduk. Tetapi menurut saya terlalu tipis jika harus disebandingkan dengan kisah nyata yang dia lakoni selama ini. Dia adalah Ahmad Ataka. Saya mengenalnya secara dekat tidak sejak kecil, namun sekadar tahu saja ketika saya sekolah di SMP. Suatu hari saat itu, saya disodori kakak saya sebuah artikel di koran.
"Nih, temenmu dah bisa bikin novel."
Whaat? Novel? Saya saat itupun masih bergelut dengan lumpur sawah mencari belut. Ini ada seorang anak seumuran yang sudah menaikkan cetak tulisannya menjadi novel. Judulnya pun bombastis, Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter. Dibesut dengan alur cerita bak Detektif Conan Edogawa, Aka (begitu saya memanggilnya) cukup lihai memainkan plot untuk seusianya kala itu.
"Kalau kamu hebat, mestinya bisa nulis juga lho." Timpal kakak saya di antara keterperangahan saya. Terkesiap. Mendidih darah emosi sampai ke ubun-ubun. "Oke, aku bisa kok kayak dia!" Batin saya. Masih membekas di ingatan saya, sebab semenjak itulah saya mengubah haluan saya. Dari semula bermain lumpur dan mencuri tebu, menjadi berteman dengan pensil, bergelut dengan lembaran-lembaran kertas, serta meniti tiap detik jalannya waktu. "Aku harus bisa!"
Hari itu juga, saya mencoba menulis sebuah cerita. Memang kala itu, kakak saya menantang saya dengan menyodorkan sebuah informasi lomba menulis cerita. Sehabis membaca tata aturan lomba, saya sahut "Siapa takut!?" Kakak saya tertawa.
Sejam, dua jam. Tulisan saya mulai panjang. Awalnya asik tetapi lama kelamaan semakin buntu. Bagaimana sih cara membuat tulisan yang baik. Dengan bayang-bayang sindiran kakak saya, akhirnya saya menyelesaikan tulisan dengan asal-asalan. Jelek bentuknya, sakit di mata, dan pusing dibacanya. Biarin, yang penting saya sudah mencoba! Bodo amat! Umpat saya kala itu. Hehe... (saya pun masih tersenyum menahan tawa jika mengingat segmen saat itu).
Menulis itu tidak mudah. Sungguh tidak mudah. Sangat membutuhkan konsentrasi yang khusus dan penuh. Tidak bisa dilakukan bersamaan dengan kegiatan lain. Harus pada momen perasaan yang pas sehingga bisa membawa emosi diri ke dalam tulisan. Tulisan yang baik adalah tulisan yang betul-betul bisa men-transfer perasaan penulis kepada pembaca.
Akhirnya, thanks untuk Ahmad Ataka, sahabat saya.
Saya semenjak SMA mulai menulis dengan hati yang lebih nyantai. Saya mulai menyadari saat itu, bahwa menulis itu tidak boleh karena paksaan, apalagi karena terbakar iri karena orang lain sudah lebih dulu menulis novel. Hehe... Saya kemudian belajar meneliti. Saya mengenal tim Sagasitas (kapan-kapan saya kisahkan yang ini ya :D). Saya lalu mengenal bagaimana menulis secara ilmiah dan runtut. Ternyata perjalanan sangat panjang. Perjalanan menjadi "bisa" itu cukup melelahkan. Namun semua menyenangkan. Yups, tergantung kitanya sendiri. Apakah mau dan senang untuk melakukan apa yang menjadi hobi kita.
Maka, saya mulai berlatih menulis dalam blog-blog seperti ini. Sesekali saya menulis dalam microsoft word. Lalu saya simpan. Saya tak muluk-muluk harus punya target harus terbit dan segala macem. Itu ntar aja. Yang terpenting, saya harus terus menulis. Saya pun akhirnya menemukan style tulisan saya. Dan itu menjadi jalan saya untuk menikmati dalam menulis.
Sekali lagi, thanks untuk Ahmad Ataka atas inspirasi di tahun 2005 itu, walaupun saya mulai akrab ketika saat-saat lulusan SMA... :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar yang sehat